Friday, October 2, 2009

Cerita Mini Ketiga

Oleh Imam Tantowi

Aku sering berbeda pendapat dengan seniorku yang satu ini. Sebagai seorang Art Director, aku selalu berpikir pragmatis. Karena jabatan yang satu ini dalam kolaborasi pembuatan film tidak cuma menyangkut aspek seni tapi juga administratif, skedul dan sebagainya. Dalam obrolan kami dengan mas Daroji yang juga Art Director di sanggar (aku dan mas Daroji satu sanggar) aku selalu mengatakan bahwa aku lebih suka pekerja yang cerdas, meski sedikit malas, daripada orang yang sangat rajin, tapi bodoh.


Mas Daroji sangat menentang pendapat ini ! Dan seperti biasanya dia selalu ngotot kalau bicara, menuduhku sebagai borjuis, sok intelek dan segala macam cercaan.

“Kalau orang bodoh tida boleh ikut kerja, bagaimana dia harus hidup ? Bagaimana dia mesti menyekolahkan anak ? Membantu orang tuanya ? … Nggak usah terlalu arogan lah…. beri mereka kesempatan bekerja ! Jangan mentang-mentang kau S-1. Kasih penjelasan yang detil, mereka pasti bisa !”

“Ini bukan masalah strata mas. Cerdas dan bodoh tidak ada urusan dengan diploma !”

“Jadi orang bodoh nggak berhak hidup ?”

“Aku nggak bilang begitu mas…, biarkan mereka bekerja yang sesuai dengan pikirannya. Biasanya mereka lebih bergairah kalau bekerja mandiri. Tidak diperintah dan tidak diarahkan. !
“Aku tidak sependapat”

“Teman aku yang pemborong bangunan pernah marah-marah, dan terpaksa membongkar batu bata yang sudah didirikan oleh tukang yang bodoh, tapi sangat rajin. Pagi-pagi sebelum mandor datang dia sudah menyusun batu bata dan dilepa dengan adukan semen pasir, tapi ternyata kelurusannya kurang akurat. Ketika si tukang bodoh itu mbongkar susunan bata, si Tukang cerdas baru muncul dan langsung bekerja, pada jam 11.00 si tukang cerdas dengan cermat berhasil membuat dinding setinggi satu meter setengah, sementara karena harus membongkar dulu dinding yang didirikan itu, si tukang bodoh hanya mampu menyelesaikan 1 meter kurang sedikit. Plus kerugian semen pasir yang dibongkar lagi.”

Mas Daroji tetap keukeuh dalam pendiriannya.

Sampai pagi itu aku terbangun, karena mendengar teriakan keras dari mas Daroji sambil mengamuk melempar-lemparkan kaleng dan segala macam, disertai sumpah serapah.

“Goblok Goblok ! Goblooook ! Yang nyuruh ngecet pakek cat minyak siapa ?”
“Semalam kan mas Daroji nyuruh ngecat ?”

“Iya tapi dengan cat tembok Diran !!! Cat tembok ! Biar cepet kering. Masak gitu aja nggak ngerti ?! Oon !”

Rupanya mas Daroji lagi ada kerja sampingan membuatkan patung fibre glass buat toko roti, patung semacam dewa Yunani purba untuk dipasang di etalase out dor..

Sambil menangis mas Daroji mengerok cat minyak masih basah yang melumuri patung Fibre glass ukuran tiga meter itu.

Kasihan juga aku melihat mas Daroji yang baik hati dan berhati lembut serta tidak tegaan, sampai menangis begitu rupa. Aku ikut membantu mengerok cat minyak itu…. Melihat kedatanganku Mas Daroji ngomel disela isak tangisnya.

“ Aku heran ada orang yang gobloknya mentok habis seperti dia. ! Bukan baru kali ini dia ngecat patung fiber. Pake cat tembok dulu biar pori-pori kelihatan lalu di dempul, kemudian dihaluskan baru disemprot pakai cat minyak itupun cat duco spesial yang dof. Goblok…. Goblok…., mana jam 11 mau diambil lagi….. Goblok lu !”

Diran cuma menunduk, dan berniat mau membantu mas Daroji, tapi diusir oleh sahabat saya itu.
Saya yakin sejak kejadian itu, mas Daroji pasti akan mengikuti sikapku dalam memilih pekerja pembantu.

Tapi ternyata tetap saja dia mengajak Diran, juga Slamet yang terus terang saja gobloknya diatas rata-rata.

“Masih diajak juga mas ?” Tanyaku.

“Kalau bukan aku , siapa lagi yang mau mengajak dia? Kasihan Mbang….., dia butuh makan, tapi aku juga pakai yang cerdas kok…!

Jakarta, 18 September 2009

0 komentar:

Post a Comment

Contact

Related Blogs

Blog Archive

Categories

Labels

Advertise