Ya

Buku itu jendela dunia

Dunia

Aneka pemandangan dengan dinamikanya

Dinamika

Yang membuat dunia ini bergerak

Gerak

Kunci mewujudkan setiap eksistensi

Eksistensi

Tempat makna dan kehormatan berlabuh

Tuesday, June 22, 2010

Setiap Buku Punya Takdirnya Sendiri-sendiri

Oleh: Triwibs Kanyut

“Temani aku meraung, kawan …” kata Heru S. Sudjarwo.

Habent sua fata libelli (setiap buku punya takdirnya sendiri-sendiri). Pada awalnya adalah “raungan” di suatu status facebook – sebagaimana galibnya raungan, ia mengandung semacam campuran rasa sakit, perih, amarah dan kekecewaan. Dan raungan biasanya terdengar begitu keras, memekakkan, meledak tetapi juga terasa mengiris, pilu.

Raungan Mas Heru, yang terkadang lebih akrab kami panggil Chuck Brewok, seolah mewakili raungan 400 lebih tokoh wayang yang terlantar di tengah suara gemuruh “Juggernaut” kebudayaan popular yang seperti hendak membabat habis kearifan kebudayaan, mengabaikan local genius, menjadikan dunia begitu dangkal, banal, dan tak sempat untuk barang sejenak merenungi kehidupan dari perspektif yang lebih dalam dan manusiawi.

Behind The Buku Rupa dan Karakter Wayang Purwa

A FRAGMENTED HISTORY OF: YANG MAHAL ADALAH NILAI, BUKAN HARGA...

Heru S Sudjarwo Jagad Wayang mau diterbitkan dengan "Mengenal 400 tokoh Wayang". Gramedia belum kontak lagi hingga kini. Pak Solihin, dimanakah engkau? Mas Sumari, apakah kita selalu menjadi spesialis kandas? Okay "Mr. Kandasman"
June 21, 2009 at 5:37pm •

Heru S Sudjarwo Hati perih teriris melihat karya adiluhung tergolek di museum. Di kotak-kotak tua yang jarang dibuka. Hati luka ketika karya mancanegara bersimaharajalela, meraung dan membabi buta, mengisi hampir seluruh rongga budaya kita. Aku cuma sedih ketika upaya memperbanyak "400 Tokoh Wayang" selalu menhadapi kendala. Teman, kawani aku. Meraung
June 25, 2009 at 3:17pm •

DAN RAUNGAN ITU TERDENGAR ....

Heru S Sudjarwo Menggigil saya ketika " 400 Tokoh Wayang" kembali diletakkan diatas meja. Terbayang 10 thn silam saat saya dan Mas Sumari mulai menyentuh lembar demi lembar buku yang sarat pesan moral itu.

ILUMINASI, Contrary to My Own’ s, but Not Remote, Not Alien

ILUMINASI
Lisa Febriyanti
Jakarta, Penerbit Kakilangit Kencana, 2009

Kira-kira seperti itulah yang terbetik dalam benak sesudah usai menyelesaikan novel Iluminasi. Terkadang kita membaca sesuatu dengan ekspektasi akan mendapatkan sesuatu yang terkandung di dalam bacaan kita, namun pada akhirnya kita justru menemukan sesuatu yang lain, yang boleh jadi berbeda, atau berkaitan, atau bahkan bertentangan, dengan apa-apa yang kita baca. Ini disebabkan terkadang kita lupa bahwa sebelum kita membaca sesuatu, benak kita telah terisi oleh pra-konsepsi yang sering menyelinap begitu saja, walau sekuat apapun kita mencoba untuk sejenak menyisihkan pra-konsepsi itu dengan harapan bisa objektif.

Barangkali novel ini hendak menitipkan suatu pesan, melalui narasi dan perlambang yang dimuat di dalamnya. Apapun pesan itu, ia telah disampaikan dengan baik, terlepas apakah kita sepakat atau tidak dengan pesan itu. Namun, di sisi lain, begitu pesan telah ditorehkan dalam kata, maka pesan itu lantas menjadi semacam “potensi” yang liar; saat pesan itu bertemu dengan pembaca, pesan itu tak lagi bisa dikendalikan oleh sang penulis. Pembaca pesan tidak akan mampu memahami pesan itu persis seperti yang dipahami oleh si penulis, dan penulis tak bisa memaksakan pembaca untuk memahami pesan persis sebagaimana yang ia pahami – maka lahirlah interpretasi atas suatu kata, kalimat, teks.

Contact

Related Blogs

Blog Archive

Categories

Labels

Advertise