Friday, August 6, 2010

Betawi Riwayatmu Dulu

Resensi Buku Riwayat Tanjung Priok
Nama Betawi banyak dituliskan berasal dari kata Batavia. Orang Betawi disebutkan sebagai keturunan budak. Banyak pula penjelasan toponimi tentang asal-usul nama tempat di Betawi yang ternyata hanya berdasarkan logika kisah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Contohnya nama Kampung Bali, Kampung Ambon atau Kampung Makasar yang disebutkan karena dulunya tempat itu dihuni oleh pendatang dari etnis tersebut. Padahal...
tidak ada kaitannya sama sekali. Hal-hal seperti itulah yang diurai Ridwan Saidi lewat karya terbarunya RIWAYAT TANJUNG PRIOK, dalam upaya pelurusan sejarah Betawi.

Dijelaskan, jika penyebutan Batavia menjadi betawi dianggap sebagai suatu metatesis, teori ini tidak benar. Vokal akhir ia dalam logat Betawi tetap diucapkan ia. Seperti rupia atau mulia tidak menjadi rupi atau muli. Selain itu tidak pernah terjadi perubahan konsonan huruf p,v dan f menjadi w. Hanya b yang bisa berubah menjadi w. Begitu juga dalam naskah-naskah lama Betawi dan Batavia tetap demikian adanya, dalam Arab gundul ejaannya ba ta fa alif ya dan ba ta alif waw ya.

Rumus toponimi untuk memahami asal muasal nama suatu tempat semestinya lebih dulu dicari dalam alam flora. Jika ini tak ditemui, kita bisa melihat unsur geometri dan countur tanah. Jika tak ada juga, maka harus lebih dulu mencari makna tempat tersebut dalam bahasa Kawi, melayu Polynesia Purba atau Egyp Ibrani. Dari beberapa kemungkinan yang lebih mendekati (selain Batavia), asal muasal kata Betawi yang paling mungkin adalah berasal dari nama jenis tanaman yang disebut guling betawi (cassia glauca, famili papillonacaeae). Jenis tanaman perdu ini memang banyak tumbuh di Nusa kalapa. Orang-orang Beatwi dulu yang berada di ujung barat Tanjung Kait hingga ujung timur Pakis Jaya secara topografis disebut berada di kawasan Nusa kalapa. Sedangkan mereka yang tinggal di Ancol, Kampung Bandan dan Mandi Rancan disebut berada di Kalapa.

Lewat penelusuran latar belakang sejarah Tanjung priok Ridwan Saidi juga mengupas asal usul orang Betawi berdasarkan kitab sejarah Wangsakerta, yang ditulis berdasarkan pertemuan para sejarahwan Nusantara pada tahun 1667 di Cirebon. Kitab yang konon dinista banyak sejarahwan pada era selanjutnya itu mengungkap keberadaan kerajaan Salakanagara yang didirikan pada awal abad Masehi oleh seorang jago dari kampung kali Tirem, Jakarta Utara, yang bernama Aki Tirem. Kali Tirem adalah tempat perdagangan priok atau bejana terbesar. Karena seringnya bajak laut datang menjarah komoditas dagang di sana, Aki Tirem selaku pengulu kampung kemudian menganggap perlu membentuk sebuah sistem kekuasaan (nagara). Sistem itu disebut krajan yang menurut Wangsakerta bernama Krajan Salakanagara. Penduduk Salakanagara itulah proto Melayu betawi.
Betawi girl
Nama Betawi secara terbatas sudah dikenal pada zaman bronze age, abad III-I SM, berbareng dengan dikenalnya nama Pegangsaan (dari kata gangsa = tembaga) di Jakarta Pusat dan jakarta Timur, sebagai tempat peleburan tembaga. Fakta sejarah lainnya adalah temuan situs Batu Jaya yang menggambarkan luasnya krajan pesisir Salakanagara, atau yang dalam bahasa melayu lama disebut merin (pelayar). Negeri Betawi sudah disebut pula dalam Babad Tanah Jawa (abad XV-XVI).

Dalam arsip kesultanan Brunei tersimpan pula catatan bahwa salah seorang raja Brunei dimasa lampau ada yang memperistri perempuan Betawi. Perempuan Betawi sejak masa Salakanagara mengenakan
subang (anting-anting), yang dalam bahasa Melayu Brunei disebut betawi.


Fakta ini kemudian dikaitkan dengan ekskavasi di Babelan (Bekasi) yang menghasilkan temuan subang-subang berasal dari abad permulaan masehi. Dari fakta-fakta tersebut semakin meragukan kalau nama Betawi merupakan plesetan dari Batavia. Lebih-lebih tentang kesimpulan Lance Castle dalam esaynya “Etnic Profile of Jakarta” tahun 1970, yang menyatakan bahwa orang Betawi adalah keturunan budak. Sebab jelas bahwa pernyataan tersebut tidak didasarkan study yang komprehensif, menganggap bahwa jakarta baru berpenduduk sejak kedatangan VOC. Bahkan dizaman perbudakan sejak masa VOC hingga penghapusannya oleh Rafles tahun 1811, tidak ditemukan satu pun dari orang Betawi yang menjadi budak.

Pada satu bagian dalam buku ini maka Ridwan Saidi tidak luput menyisipkan pesan, kiranya bijak jika masyarakat Betawi melakukan renungan ulang tentang faktor-faktor penyebab masih belum optimalnya kemajuan orang Betawi.Sudah sangat banyak generasi muda Betawi yang berpendidikan tinggi, tapi patutlah memoles sedikit penampilan demi menghadapi proses perubahan dalam masyarakat yang berjalan begitu cepat. Kebiasaan gendong tangan memang tidak selalu berarti buruk, tapi going nowhere. Ada pembebasan pikiran dari segala beban kehidupan, tapi siapa yang akan menanggung beban itu menjadi tidak jelas.(Cici A. Ilyas)

Image by Lensaku via Flickr
Enhanced by Zemanta

0 komentar:

Post a Comment

Contact

Related Blogs

Blog Archive

Categories

Labels

Advertise