Sunday, September 27, 2009

Cerita Mini Kedua


Oleh Imam Tantowi

Yang selalu aku syukuri adalah Allah menganugerahiku wajah yang tampan dan simpatik. Itu kenapa teman-teman desaku mendesak supaya aku mengikuti audisi sebuah film yang mau digarap. Mereka gotong royong mengumpulkan uang untuk biaya transportasi dan akomodasi ke Jakarta. Bahkan Pak Darmo sopir truck yang sering mengangkut sayuran dan kentang dari daerahku bersedia mengantar sampai ke alamat Production House yang mau memproduksi film itu; dia sangat tahu daerah Kedoya, Jalan Panjang.


Dan yang paling mengharukan, Pak RT di kampungku memimpin seluruh warga untuk puasa Senin Kemis, bahkan sebagian lagi tahajud berjamaah untuk mendoakan aku supaya diterima.

Dan alhamdulillah audisiku sukses. Aku diterima untuk peran yang sebenarnya peran kecil saja, sekedar figuran berdialog. Allah memihak nasib baikku.

Rencana lokasi shooting di sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Beberapa kali saya ke kantor PH, bertemu dengan Sang Sutradara yang menurut aku agak over acting. Dari awal dikenalkan dengan sutradara sampai entah berapa puluh kali aku ke kantor untuk latihan acting dan reading, aku melihat Sang Sutradara semakin kurang bergairah, sampai yang terakhir aku merasakan ada semacam kebingungan pada Sang Sutradara.

“Kapan kita mulai shoting Bang?” tanyaku.

“Ah… begini, mestinya kan Minggu kemarin, tapi diundur lagi, karena produser masih di Macau….”

Besoknya, aku dipanggil sutradara disuruh siap untuk berangkat ke Belik, nama desa tempat lokasi shooting. Aku diberi uang saku oleh manager produksi, dan sebuah amplop berisi surat untuk Pak Lurah di daerh Belik itu.

“Kau bilang saja, rombongan dua tiga hari lagi akan sampai.”

Aku bersemangat, langsung menelepon ibu, mohon doa restu supaya tidak ada halangan suatu apa.

Malamnya, aku berangkat ke Jawa Tengah ke desa Belik.

Sungguh di luar dugaan, di terminal bus, aku disambut dengan sangat meriah. Pak Lurah diiringi oleh gadis-gadis cantik yang konon sudah dipersiapkan sebagai figuran desa menyambutku, membawa kertas bertuliskan namaku…., layaknya aku seorang bintang besar. Cuping hidungku berkembang memacu rasa bangga yang meledak-ledak di dadaku, tapi berusaha kutahan.

Aku memberikan surat ke Pak Lurah.

Selanjutnya benar-benar aku menikmati kehidupan yang begitu menyenangkan. Diundang makan oleh tokoh-tokoh masyarakat desa Belik, setiap waktu. Bahkan ada yang menawariku untuk jadi menantu. Aku pun menjawab dengan diplomatis, bahwa aku masih ingin meniti karier.

Tapi lama-lama sambutan yang memanjakan itu semakin mengerikan, manakala sudah empat hari dari waktu yang dijanjikan, rombongan dari Jakarta belum juga ada kabar beritanya. Beberapa kali Pak Lurah menanyaiku, sampai akhirnya aku menelepon Manajer Produksi di Jakarta….

”Karto…! Kalau kamu mau selamat, lebih baik diam-diam kamu tinggalkan desa Belik. Ingat… jangan sampai ada yang tahu! Produksi dibatalkan, karena produser yang mau cari tambahan modal dengan berjudi di Macau, malah bangkrut. Ruko dan tiga mobilnya dijual. “

“Jadi nasib saya bagaimana Pak?”

“Cepat kabur dari sana, kalau ingin selamat!”

Selama aku hidup, baru kali inilah didera rasa takut yang luar biasa. Bukan sekedar takut digebuki oleh orang desa yang tampak lugu dan baik hati, tapi justru takut kepada diriku sendiri akan mengecewakan mereka yang telah memperlakukan aku bak seorang idola.

Pagi itu aku bilang kepada Pak Lurah, mau ke warnet, mau kembali menghubungi Jakarta. Dengan wajah polosnya Pak Lurah mempersilakan aku.

Di terminal bus aku langsung naik bus menuju ke Purwokerto.

Aku memutuskan untuk pulang, sebelum kembali ke Jakarta…. Aku sengaja menunggu sampai malam untuk pulang ke desaku, supaya tidak terlampau malu.

Rumahku tampak ramai, lampunya lebih terang dari biasa dan seperti banyak orang di dalamnya.

Sebenarnya aku takut untuk masuk ke rumah, karena pasti akan banyak mulut yang bertanya…. Tapi aku cemas kalau-kalau ayah atau ibu meninggal, dan malam itu adalah malam tahlilan. Segera aku berlari ke rumah, masuk ke pintu dengan perasaan berdebar….

Semua orang menoleh ke arahku yang berdiri cemas di tengah pintu.

“Karto….? Kok pulang….?”

“Siapa yang meninggal?”

“Meninggal? Ini syukuran karena warga kita ada yang berhasil sebagai bintang film………”

Aku tersenyum hambar…. sampai sekarang aku masih bimbang, apa perlu kuceritakan bahwa aku gagal sebagai bintang film, meskipun aku berhasil lulus dalam audisi……

Jakarta, 17 September 2009

0 komentar:

Post a Comment

Contact

Related Blogs

Blog Archive

Categories

Labels

Advertise