Resensi Upacara Daur Hidup Adat Betawi
Etnik Betawi bukan etnik yang baru muncul setelah J.P. Coen memboyong budak dan para pekerja dari seantero Nusantara dan Asia. Etnik betawi adalah mukimin awal yang telah eksis di tanah Jakarta sejak 130 M, yang memiliki sistem budaya dengan sejumlah nilai dan norma yang menjadi acuan dalam berkehidupan.
Arus urbanisasi ke Jakarta, hadirnya unsur-unsur kemajemukan masyarakat dan budaya, serta proses perjalanan sejarah yang panjang pada gilirannya membentuk karakter tersendiri pada seni budaya Betawi, hingga menjadikannya unik. Gambaran itulah yang diuraikan budayawan Yahya Andi Saputra dalam buku Upacara daur hidup Adat Betawi ini.
Nyaris tak ada etape dalam siklus kehidupan orang Betawi yang tidak tersentuh upacara tradisi. Pada tradisi etnik dimanapun hubungan kelamin adalah peristiwa yang dipandang suci. Dalam konteks adat Betawi Yahya memaparkannya secara detil, sejak proses pria dan wanita mencetuskan keinginan untuk berketurunan, hingga proses phisikal kemanusiaan suami dan istri berniat mengadakan hubungan kelamin. Pada masyarakat betawi untuk sampai pada tahap ‘berume-rume’ (berumahtangga) dikenal istilah ‘ngedelengin’, yaitu upaya menemukan kesamaan visi dan misi antara lelaki dan perempuan dalam rangka membina rumahtangga. Setelah itu ada proses ‘ngintip’, ‘ngelamar’ dan seterusnya, sebelum sampai pada pernikahan.
Setelah nikah pun pasangan suami istri ternyata tidak langsung bisa melakukan hubungan badan. Sehari setelah akad nikah, misalnya. Meski pengantin lelaki bermalam di rumah pengantin perempuan, tidak berarti malam itu akan menjadi malam pertama mereka. Ada ketentuan pengantin perempuan harus mempertahankan kesuciannya selama mungkin, atau jual mahal. Maka pengantin lelaki harus melwati ‘malem negor’, yakni merayu sampai sang istri luluh hatinya dan mau diajak masuk kamar. Upaya bujuk rayu itu dilakukan tak hanya dengan kata-kata, juga dengan ‘uang tegor’.
Tentang sikap dan filosofi hidup orang Betawi tergambar jelas dalam upacara adat pindah rumah. Pada upacara tersebut perabotan yang harus dibawa antara lain tempayan atau kendi berisi air, bumbu dapur dan kaca. Air adalah lambang kehidupan. Dulu orang Betawi meletakkan tempayan atau kendi berisi air di depan rumah, untuk musafir yang lewat supaya bisa sekadar minum atau cuci muka dan kaki. Sikap ini melambangkan kepedulian orang Betawi terhadap sesama, serta gairah dan optimismenya dalam menjalani hidup yang mengalir seperti sifat air membasahi tempat-tempat yang lebih rendah. Bumbu dapur jadi perumpamaan hidup dengan beragam rasa. Ini melambangkan kesadaran orang Betawi yang hidup mandiri tapi tidak sendirian, melainkan dengan beragam etnik lain. Sedangkan kaca melambangkan kerendahan hati orang Betawi, yang dimanapun berada mampu menempatkan diri pada posisi yang tidak bersinggungan dengan orang lain.
Image via Wikipedia
artikel bagus gan...
ReplyDeletehttp://jainudin-betawi.blogspot.com/
wah tengkyu gan; syukur dah kalau bisa bawa manfaat buat yg membutuhkan.
ReplyDelete