Friday, October 23, 2009

Sang Mubaligh

Lukisan karya: AD Pirous

Oleh Imam Tantowi

Dorongan dari kawan-kawannya di kampus supaya Taufik menekuni profesi sebagai mubaligh, membuat dia tidak bisa tidur. Bukan masalah masa depan, sebab dia justru melihat profesi mubaligh itu semakin menjanjikan. Yang dia takutkan hanyalah surah As Shaff ayat tiga: Kaburo maktan ‘indallohi an ta’kulu maa laa taf ‘aluun. Sangat dibenci disisi Allah jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.
Beberapa kali dia berkhutbah di masjid Departemen, sambutannya luar biasa. Dia bukan sekedar mubaligh saloon. Visinya jelas, dia ingin mengajak pejabat-pejabat eselon atas, kaum pengusaha, supaya lebih dekat dan lebih mengenal Islam. Karena kalau orang-orang mampu berhasil “dia Islamkan”, maka nasib kaum dhuafa di negeri ini akan selamat oleh zakat mereka. Kalau kaum cerdik cendekia berhasil dia dekatkan dengan agama, maka anak orang-orang yang tersingkir ke pinggiran akan terselamatkan pendidikan mereka….


Niat itu dia sampaikan kepada kakeknya yang juga seorang mubaligh, meskipun hanya mubaligh kampung. H. Arifin memandangi cucunya dengan mata kurang percaya. Apa mungkin anak muda yang cara berpikirnya pragmatis, mau menjalani kehidupan dibawah sederhana macam dia…? Tablig di kampung-kampung dengan selipan amplop yang terkadang buat ganti ongkos naik ojek saja pas-pasan. Dia curiga cucunya ingin jadi mubaligh biar bisa nongol di televisi…? Biar jadi tokoh masyarakat ?

“Nggak Kong, buat apa…? Saya pengen seperti engkong. Yang penting bisa menyedekahkan ilmu agama yang saya punya.”
“Tapi jadi mubaligh seperti engkong, nggak ada masa depan Pik…., nggak bisa buat nyekolahin anak..”
“Masalahnya orang kaya juga perlu agama, kan Kong…? Berdosa kita kalau membiarkan mereka tersesat karena tidak ada yang mengajar agama kepada mereka”

H.Arifin tersenyum sambil manggut-manggut…… “Iya juga yah, engkong nggak pernah kepikiran kesana. Yang selalu engkong cemasin itu kata-kata yang menyebut bahwa kefakiran itu dekat dengan kekafiran.”
Alhasil Taufik minta diajarin bagaimana cara berceramah supaya pendengarnya terpaku, seperti kalau Kong haji Arif berceramah.
“ Waduw…. susah itu Tong…., engkong bisa berceramah tapi kagak bisa kalau disuruh ngajarin orang berceramah. Kalau kamu mau belajar ceramah, bagusan ke ustadz Dahlan di Tangerang…. elo kesana aja, ntar engkong bikinin surat, sambil engkong juga mau nitip ngembaliin kitab fiqih yang dulu engkong pinjem waktu masih di pesantren bareng….

Taufik naik metromini membawa kitab fikih yang dia bungkus dengan rapi lengkap dengan surat dari H. Arifin.
Malangnya di dekat perkampungan kumuh dekat pembuangan sampah akhir, bungkusannya dijambret, dan penjambretnya langsung melompat keluar metromini dan berlari menuju ke perkampungan kumuh dekat pembuangan sampah akhir.
Tanpa pikir panjang Taufik melompat turun dan mengejar jambret itu. Sampai masuk ke perkampungan kumuh…..

Dia kebingungan di perkampungan yang lebih layak untuk habitat lalat dan tikus got itu, orang-orang beneran itu hidup, sementara dia sering menonton di Animal Planet betapa orang utan begitu disayang dan diberi buah-buahan yang layak buat manusia….. Dia melihat penduduk perkampungan kumuh itu bekerja sangat rajin….
Seorang tua yang sedang bekerja memandangi dia dan menanyakan mau apa ke tempat mereka. Taufik menceritakan bahwa barang titipan engkongnya di jambret dan jambretnya masuk ketempat itu. Orang tua itu menyarankan lebih baik diihlaskan saja, daripada nanti malah berbahaya. Orang miskin bisa lebih nekat.
Seorang wanita tua berjalan sambil menenteng bangkai ayam, waktu disapa si lelaki tua, dia menjawab dengan enteng..
“Ayam Ki…, si Nondol pengen ayam katanya….”
Taufik heran, dia tahu bahwa ayam yang ditenteng wanita tua itu bangkai dan dia sangat tahu bahwa bangkai itu haram dimakan.
“Itu bangkai kan bu ?”
“Iya…, kenapa…?”
“Kan haram bu ?”
“Haram buat kamu yang tau hukum, yang mampu membeli ayam hidup, atau ayam goreng di rumah makan…., buat kami tidak… betul kan Ki ?”
“ Cucunya pengen makan ayam…. yang dia mampu cuma bangkai ayam, ya biar saja…., kalau nanti dia mampu beli ayam goreng di rumah makan pasti dia tidak makan bangkai ayam…..
Sejak kejadian itu Taufik makin tertarik dengan kehidupan di rumah kumuh, juga ketika beberapa hari yang lalu dia melihat si Aki merestui pernikahan, tanpa ijab kabul, tanpa penghulu di tempat itu… ketika dia tanya apa cuma begitu pernikahan disini ?
“ Apa penghulu mau datang ketempat kumuh seperti ini ? Mereka perlu ada aturan supaya tidak seperti kambing atau kucing yang berkeliaran disini. Ya meskipun tidak resmi seperti di kantor urusan agama, tapi paling tidak penduduk sini kan bisa saling menghormati bahwa si A sudah menjadi isteri si B, jadi supaya tidak diganggu….”

Taufik tercenung….. ternyata orang miskin lebih membutuhkan agama…. Teman-teman kampusnya bingung, waktu Taufik membatalkan untuk jadi mubaligh salon….. dia heran melihat Taufik berceramah ditempat kumuh habitat lalat dan tikus got………

Jakarta, 11 oktopber 2009

0 komentar:

Post a Comment

Contact

Related Blogs

Blog Archive

Categories

Labels

Advertise