Monday, August 24, 2009

Warin, Pohon Bacang, Naluri Ibu, dan Sensasi Waktu


Salah Satu Cerita Pendek Aant S. Kawisar

Pernah sampai ke telinga Warin; Pada malam ketika ia akan dilahirkan, ibunya meminta kepada ayahnya agar menebang pohon bacang yang sedang berbuah lebat di depan jendela kamar, malam itu juga. Tapi ayahnya tak memenuhi permintaan itu, meskipun ketika itu ibunya menangis sesenggukan.

“Ada mahluk halus jahat di pohon bacang itu. Mahluk jahat itu mau merebut anak kita,” kata ibunya ketika itu, amat memelas dan mulai putus asa. Jauh-jauh hari sebelumnya, wanita itu telah pula mengatakan berulang-ulang tentang mimpinya yang datang berulang-ulang, prihal mahluk halus jahat di pohon bacang itu.

Sementara ayah Warin tak menghiraukan mimpi istrinya bukan karena ia tak mempercayainya, begitu pun nasehat seorang Kyai yang membenarkan mimpi itu. Akan tetapi justru sebaliknya, lelaki kekar itu amat yakin atas mimpi istrinya, sebagaimana ia teramat yakin pula pada perlindungan keris kelok dua belas Joglosemar warisan leluhurnya.

Dan nyatanya, Warin lahir dengan selamat; tumbuh menjadi bayi yang sehat; menjadi anak yang cerdas; remaja yang memiliki cita-cita dan selalu juara kelas selama masa sekolahnya; pemuda yang pandai membuka peluang pada setiap celah pergaulan, kritis dan tangkas berbicara dalam jurus-jurus ilmiah; berwawasan luas karena kegemarannya membaca; dan akhirnya menjadi salah seorang yang paling dibanggakan sekaligus dimanja oleh Winangun, sesepuh perkumpulan yang mereka dirikan di Jakarta, guna mengagungkan relung-relung terdalam keindahan syair, musik, dan teater. Sebuah perkumpulan yang memiliki jaringan ke pusat-pusat gerakan liberalisme dunia, yang kerap mengantarkan Warin menyinggahi berbagai kota di Eropa dan Amerika.

Dan saat ini Warin dihantarkan ke sebuah kota yang di penuhi bangunan-bangunan tua peninggalan zaman barok, menghadiri sebuah festival seni yang ditasbihkan bertaraf dunia, meskipun –anehnya-- sebagian besar pesertanya diundang dari dunia ketiga.

Salah satu puisi yang ditulis Warin khusus untuk festival itu, yang dibacakannya pada hari kedua, adalah puisi yang penuh ejekan pada masa kanaknya. Latar belakang permintaan ibunya 49 tahun yang lalu, dan sekaligus alasan penolakan ayahnya, dengan permainan bahasa yang berlompatan tak terduga dan kering, secara pongah dirangkainya menjadi bait-bait yang menjelaskan paradoks dalam dirinya. Paradoks antara kebanggaan dan rasa percaya dirinya yang tinggi karena bacaan, dan sekaligus rasa mindernya sebagai ahli waris dunia terkebelakang. Paradoks yang dengan begitu rapi ia sembunyikan dalam kemegahan referensi dan kecermatan mengutak-atik kata. Paradoks yang sering menjadi serangkaian bahan ejekan baginya. Ejekan yang tak membuatnya marah atau malu, tapi lari meninggalkannya. Meninggalkan dunia terkebelakang yang tak memberikan kesenangan dan kebanggaan sedikit pun kepadanya. Termasuk di dalamnya adalah agama. Karena agama dalam lingkungan masa kecilnya tak lebih dari kenduren, ritual sesaji, kesaktian dan kultus para kyai. Dan sayangnya, ia tak pernah berkeinginan sedikit pun untuk menelusurinya --sebagaimana ia telah menelusuri teks-teks sastra dengan amat cermat dan cemerlang-- mengurai timbunan kerak dufa dan lelehan kemenyan animisme nenek-moyang, penyembah pohon dan batu, yang menghitamkan cahaya agama; Sebaliknya, ia malah terpesona pada pohon dan batu lain di negeri-negeri jauh, yang dianggapnya merupakan mata air pencerahan menyikapi kemajuan peradaban, di mana ia merasa menjadi bagian di dalamnya.

Pohon dan batu lain itu, menjadi lain, menurut Warin –sebagaimana sering disampaikannya secara metafor melalui makalahnya dalam forum-forum diskusi di mana ia sering tampil sebagai pembicara, dan menjadi terkenal karenanya --telah mampu mengatasi kelenik semacam penunggu pohon bacang dan jisin keris kelok dua belas Joglosemar, sebagai sumber inspirasi yang memberi peluang sekaligus kebebasan membangun narasi baru menjadi sebuah dunia permainan. Karena itu altar pemujaan Warin sekarang adalah tahayul pohon tak bertuan, karena itu tak bernama. Pohon beribu persilangan, pohon hybrida. Pohon dari semua pohon yang bisa tumbuh sebagai pohon apa saja, bahkan bisa menjadi pernik-pernik barang kerajinan, souvenir bagi para turis, atau menjadi batu dan fosil.

Atas dasar keyakinannya tersebut, maka dari arena festival seni bertarap dunia itu, Warin menyebut rekan-rekan penyairnya yang berkutat di tanah air, dengan sebutan penyair Jawa; Orang-orang terkebelakang! Dengan mengenakan mantel bulu musang yang terlalu besar untuk ukuran tubuh Jawanya dan syal dari bahan wol yang dililitkan di leher, ejekan itu meluncur enteng dari mulutnya.

Namun, sepucuk surat singkat yang dikirimkannya tiga hari yang lalu dari sebuah meja restoran di pinggir sungai Rhein, sesungguhnya menejelaskan betapa sebenarnya di salah satu sudut terpencil dalam dirinya, Warin masih memelihara dan mengelus-elus kenangan akan tanah kelahirannya, tanah Jawa. Meskipun kenangan itu disikapinya hanya sebagai sebuah sensasi waktu. Sebagaimana di ujung suratnya ia menambahkan: “Bu, kelezatan rawon ibu, ternyata lebih lezat ketika disantap dalam kenangan, di depan hidangan sepotong steak sapi Brazil setengah matang dengan saos barbeque Inggris yang tajam rasa dan segelas anggur merah Perancis yang tua dan ranum, di tengah hujan salju.”

Lewat tengah malam ibunya menerima surat itu di layar telepon selulernya, yang membuat kening wanita tua itu berkerenyit, tapi kemudian menarik napas lega, karena tahu -- betapapun ia tak pernah mengerti dan memahami jalan pikiran anak sematawayangnya itu-- bahwa anak itu sekarang dalam keadaan sehat-walafiat.

Di rumah peninggalan suaminya yang besar bergaya artdeco yang kini kosong-melompong, wanita tua itu tetap tak pernah sangsi pada keyakinannya, bahwa pada malam ketika ia melahirkan Warin, ia tak berhasil melindungi anaknya itu dari renggutan mahluk halus jahat di pohon bacang itu, yang segera merebut Warin begitu ke luar dari rahimnya. Keyakinan yang bermula dari mimpi-mimpi yang menyinggahi tidurnya ketika ia sedang hamil tua, kemudian kian menguat tertanam dalam dirinya selama ia membesarkan Warin. Nalurinya sebagai ibu bisa merasakan adanya tangan-tangan lain yang ikut merawat dan membesarkan bocah lanang itu. Tangan-tangan yang lebih perkasa dari keris kelok dua belas Joglosemar milik suaminya. Tangan-tangan yang menjadikan Warin lebih menyukai kupu-kupu ketimbang berburu belalang di sawah. Tangan-tangan yang menuntun Warin untuk lebih suka berdiam diri di kamar, membolak-balik halaman buku-buku tua, daripada mencebur di pecahan ombak pantai di depan rumahnya, atau daripada berburu kepiting, belut, atau burung di hutan jati di belakang rumahnya. Sebuah koper penuh buku-buku tua itu ditemukan ayahnya di langit-langit rumah, yang konon dulunya adalah milik seorang Belanda. Dan mahluk halus jahat di pohon bacang itu konon adalah ruh penasaran orang belanda itu. Seorang tuan tanah yang menguasai hampir seluruh perkebunan kelapa, kopi, jati, dan tanah persawahan di desanya, di ujung Timur pulau Jawa. Dan pernah pula sampai ke telinga Warin cerita tentang bagaimana orang Belanda itu menggelepar di tanah karena sabetan celurit salah seorang pemuda pejuang kemerdekaan di tahun 40-an, di mana pada saat orang Belanda itu meregang nyawa dengan sekujur tubuh bermandi darah, ia sempat bersumpah akan menuntut balas atas nyawanya, perkebunan kelapa, kopi, jati, dan persawahan yang dirampas oleh para pejuang kemerdekaan dari tangannya.

Dan diyakini pula oleh ibu Warin, bahwa dendam itulah yang telah merenggut suaminya, ketika beberapa bulan setelah kelahiran Warin, orang-orang dari sawah mengantarkan jasad hangus suaminya; Mati disambar petir di tengah hujan deras pada tengah hari bolong. Keris kelok dua belas Joglosemar milik suaminya, terbukti memang tak berdaya.

Cerita itu pun pernah sampai ke telinga Warin, yang membuatnya terpingkal-pingkal tertawa, dan merasa kian mantap bahwa ia memang harus menjauh dari desanya, tanah kelahirannnya. Dan ibunya sudah lama menyadari hal itu. Karena itu tak heran, sejak ia dilahirkan, ibunya telah merasa kehilangan.
Yogyakarta, 2009
.

0 komentar:

Post a Comment

Contact

Related Blogs

Blog Archive

Categories

Labels

Advertise