Ya

Buku itu jendela dunia

Dunia

Aneka pemandangan dengan dinamikanya

Dinamika

Yang membuat dunia ini bergerak

Gerak

Kunci mewujudkan setiap eksistensi

Eksistensi

Tempat makna dan kehormatan berlabuh

Wednesday, December 31, 2008

Menjual Tulisan ke Luar Negeri

Oleh Darminto M Sudarmo


SUKSES materi dan (mungkin) apresiasi buku serial Harry Potter karya JK Rowling, sejujurnya cukup menerbitkan rasa “takjub” bagi pengarang lain. Apalagi bagi pengarang Indonesia. Tetapi apa yang akan terjadi seandainya pengarang Harry Potter ini orang Indonesia dan hanya menulis dalam bahasa Indonesia? Persoalannya pasti akan menjadi lain, bukan?
Parameter sukses dari kasus JK Rowling tentu saja berbeda sekali substansinya dengan sukses yang dicapai penyair wanita Amerika, Emily Dickinson (1830-1886). Berbeda juga dengan sukses penjualan buku Saman karya Ayu Utami dan Supernova karya Dewi Lestari. Mungkin juga masih berbeda bila dibandingkan dengan buku “Ayat-ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi”.
Persoalan menarik dari kasus-kasus di atas yang ingin diangkat adalah persoalan “obyektif” yang melingkari aneka atmosfer terkait dengan “geger” atau “tidak geger”-nya buku karya pengarang ketika diluncurkan ke masyarakat pembaca. Nah, kata “geger” ini yang oleh para akademisi disebut sebagai public relations atawa lebih tegasnya, promosi, pada akhirnya bermuara pada goal yang dicanangkan oleh para penerbit mana pun di dunia, yaitu soal laku atau tidak laku buku itu di pasaran. Untung atau rugi. Dalam bahasa paling halus, apa yang dicapai JK Rowling terhadap semua buku-bukunya, terutama Harry Potter seri terakhir (5), adalah memperoleh kepuasan lahir dan batin. Respon pembaca melimpah, efek ekonomi terhadap dirinya, juga cukup menggairahkan. Dan sudah dapat diduga, bila si pengarang saja mendapatkan efek ekonomi dari karyanya begitu serius, apalagi yang diperoleh penerbit; lebih tak terkatakan lagi.
Misteri dan histeria Harry Potter itu pernah jadi bahan obrolan teman-teman komunitas penggemar buku dan ujung kesimpulan dari perdebatan yang cukup seru itu cuma sederhana, yaitu karena JK Rowling orang Inggris dan menulis dalam bahasa Inggris. Tentu saja kesimpulan ini tipikal hasil obrolan lingkup yang sangat kecil, siapa pun berhak untuk tidak setuju; faktanya, Karl May, kendati menulis dalam bahasa Jerman toh dunia juga dapat dia buat geger.
Ya. Relevansi dari tulisan ini sebenarnya sederhana saja. Menulis dalam bahasa Inggris, apakah harus dimonopoli oleh para “bule” (maaf)? Apakah para penulis/pengarang yang berkarya dalam bahasa ibunya atau dalam bahasa nasionalnya, kalau karya itu bagus dan punya spirit universal, tak mungkinkah diterjemahkan dalam bahasa Inggris untuk kemudian ditawarkan pada penerbit luar? Penerbit Inggris atau Amerika, misalnya? Di mana pun Anda tinggal, di Gunung Kidul atau di pelosok Tengger atau di lereng Gunung Tambora sekalipun, kalau Anda mampu menunjukkan karya yang terekspresi dalam bahasa Inggris, tak layakkah Anda menawarkan karya Anda kepada penerbit yang relevan?
Tentu saja kemungkinan ini bukan utopia, kalau disikapi dengan serius. Apakah pengarang Indonesia yang ingin karyanya terbit dalam bahasa Inggris atau menurut istilah para artis ibukota, go international, harus menunggu jemputan dan apresiasi Prof. Teeuw? Harry Aveling? Atau pakar sastra Indonesia asal asing lainnya, yang kesibukan sehari-hari mereka sudah sangat luar biasa? Kalau itu terjadi memang lebih bagus. Tetapi, bukankah waktu berjalan sangat cepat? Di toko buku saya pernah melihat buku kumpulan cerpen versi Kompas dipajang dan mejeng di berbagai outlet, tetapi saya segera tersenyum dalam hati sekaligus salut, ketika menjumpai judul buku dengan format dan desain sama dengan versi Kompas, bertuliskan “Kumpulan Cerpen bukan versi Kompas”. Ini mungkin isyarat kegemasan atau ketidakberdayaan, tetapi itu semua bisa disulap menjadi energi positif bahkan humoristis. Betapa fair dan elegan bila kompetisi berlangsung seperti ini.
Seperti kita semua sudah maklum, deregulasi informasi dan akses sudah terbuka demikian lebarnya, mengapa para pengarang Indonesia tidak melakukan jemput bola? Persoalan kualitatif mungkin menjadi salah satu ganjalan yang paling menggelisahkan bagi pengarang kita. Kalau upaya semacam itu datang dari diri sendiri, sepertinya terkesan adanya degradasi mutu dan etika, sehingga membuat pamornya turun; apalagi kalau karya yang ditawarkan ke penerbit asing ternyata ditolak. Alamak! Saya tak percaya, pengarang kita sekerdil itu. Soal mutu, soal nilai, soal diterima, soal ditolak, itu semua tergantung pada angin, he-he-he, pinjam judul puisi Abdulhadi WM.
Ini iseng-iseng untuk sekadar gambaran, syahdan, tersebutlah seorang penulis kolom bernama Art Buchwald. Tulisannya ekspresif dan lucu. Banyak pula yang bermuatan sindiran. Satir. Setiap kolomnya bisa dimuat di puluhan media di seluruh dunia; diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Itu artinya, untuk setiap media di mana tulisannya dimuat, ia mendapatkan royalti dari sindikasi yang mengontraknya. Bayangkan, satu tulisan bisa berkelana ke berbagai negeri dan penerbitan, bukankah itu “medan perang” yang sangat menggiurkan? Bagaimana kalau tiap hari minimal ia menulis satu kolom saja, berapa sebulan, berapa setahun? Kucluk-nya lagi, setelah tulisan kolomnya mencapai jumlah banyak, masih diurus lagi oleh sindikasi untuk diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan kolom; ini benar-benar edan.
Memang edan, penulis-penulis Amerika Serikat, Inggris atau negeri maju lainnya, yang memiliki “medan tempur” sangat luas, memperoleh efek ekonomi yang juga edan-edanan dari karya yang dihasilkannya; selain perlindungan hak cipta, tentu saja. Tak aneh, bila para penulis itu bisa menggaji sekretaris, staf dan memiliki jaringan korespondensi di berbagai negeri. Jangankan ketika Amerika sudah sedemikian maju di bidang network dan software, dulu di masa Ernest Hemmingway masih hidup, penerbit novel dan ceritanya pun berani membayar royalti dengan perhitungan per-kata sekian dolar, bukan per-halaman atau per-buku. Ini edan-edanan tipikal Amerika yang lain lagi.

Medan Tempur Global
Kembali ke masalah penulisan tadi. Kalau tulisan Anda bisa dimuat di media Indonesia, mungkin imbal balik yang akan Anda terima tidak begitu edan-edanan, tapi lumayan bisa untuk beli buku atau nraktir teman. Karena itu, keterampilan mengarang atau menulis selalu disikapi sebagai hobi atau pengisi waktu senggang. Anda mungkin malu atau belum berani mendeklarasikan diri sebagai pengarang professional. Yang hidup mati Anda tergantung pada angin, eh, pada karya yang Anda hasilkan. Mengapa demikian? Karena pemahaman profesi pengarang atau penulis selalu bermuara pada pengertian penulis koran/majalah atau buku. Padahal tak kurang dari 50 profesi yang terkait dengan pekerjaan penulis: penulis iklan, pidato, program TV, ghost writer, dan banyak lagi lainnya.
Memang ada sedikit perbedaan budaya. Para redaktur penerbit luar banyak yang bervisi getol mencari penulis pemula yang segar dan fresh gagasan, sedangkan penerbitan kita lebih melirik penulis yang sudah punya nama, punya pasar dan artinya penerbit terbebas dari risiko laten, rugi finansial, meskipun ini tak selalu benar. Maka jangan heran kalau perlakuan redaktur terhadap penulis, selalu memasukkan penulis ke dalam kelas-kelas. Ada penulis yang dinilai kelas A, B, C atau bahkan D; dan itu artinya berkaitan dengan kelayakan honorarium yang bakal diterima oleh si penulis tadi. Bagi penulis pemula, sebaiknya jangan terlalu risau oleh hukum tak tertulis yang berlaku di banyak media atau penerbitan semacam ini.
Tapi, kalau Anda hanya puas menjadi penulis dalam bahasa Indonesia, apa boleh buat, begitulah “medan tempur” yang tersedia buat Anda. Sudah lahannya tidak banyak, pesaingnya, berjubel nian. Itu artinya, setiap hari, ada belasan, bahkan puluhan tulisan yang ditolak redaksi penerbitan media maupun buku. Mengapa Anda tidak berpikir untuk menjual gagasan Anda ke penerbit atau media luar negeri (berbahasa Inggris) untuk memperluas teba dan cakrawala?
Saya harap data ini masih relevan dengan situasi saat ini. Bila Anda tertarik, saya bukan mau provokasi apalagi promosi, alternatif-alternatif ini mungkin relevan dengan kebutuhan Anda. Cobalah Anda berkorespondensi dengan mereka, penerbit Amerika Serikat ini, mudah-mudahan Anda memperoleh informasi yang memadai. Untuk diketahui, data ini saya comot secara acak dari ratusan alamat penerbit yang termuat di The Writer’s Handbook 1997, 10th Anniversary Year, Editor: Barry Turner.

Boyds Mills Press
815 Church Street, Honesdale PA 18431
Tel. 001 717 253 1164 Fax. 001 717 253 0179
Publisher: Kent Brown Jr dan Editorial Director: Larry Rosier.
Penerbit ini, terutama menerbitkan cerita anak. Baik cerita fiksi,
non-fiksi maupun puisi. Rata-rata sekitar 50 judul buku pertahun.

Carol Publishing Group
600 Madison Avenue, New York NY10022
Tel. 001 212 486 2200 Fax. 001 212 486 2231
Publisher: Steven Schragis.
Penerbit ini berdiri sejak tahun 1989, menerbitkan di antaranya buku-buku
fiksi, namun paling banyak adalah non-fiksi. Seperti: biografi, autobiografi, sejarah, sains, humor, how-to, dan buku-buku self-help bergambar. Setiap tahun rata-rata meluncurkan 150 judul buku.

Carolrhoda Book, Inc.
241 First Avenue North, Minneapolis MN 55401
Tel. 001 612 332 3344 Fax. 001 612 332 7615
Editorial Director: Emily Kelley dan Submissions Editor: Rebecca Poole.
Penerbit ini terutama juga menerbitkan cerita anak, balita, biografi, sejarah, budaya-budaya di dunia, esai foto dan cerita fiksi yang berlatar belakang sejarah.

Charlesbridge Publishing
85 Main Street, Watertown MA 02172-4411
Tel. 001 617 926 0329 Fax. 001 617 926 5720
Chairman: Brent Farmer dan Managing Editor: Elena Wright.
Penerbit yang berdiri sejak 1980 ini, terutama menerbitakan materi pendidikan untuk anak-anak usia sampai dengan 12 tahun.

Dearborn Financial Publishing, Inc.
155 N. Wacker Drive, Chicago IL 60606-1719
Tel. 001 312 836 4400 Fax. 001 312 836 1021
President: Dennis Blitz, Chairman: Robert C. Kyle dan Senior Vice President: Anita A. Constant, Tim Honaker.
Terutama menerbitkan materi bidang real estate, asuransi, investasi, financial planning, securities, commodities, perbankan, pendidikan profesi, materi bisnis lainnya. Sekitar 150 judul setiap tahunnya.

Hippocrene Books, Inc.
171 Madison Avenue, New York NY 10016
Tel. 001 212 685 4371 Fax. 001 212 779 9338
President/Editorial Director: George Blagowidow.
Terutama menerbitkan materi non-fiksi dan buku-buku referensi.

Jangan lupa, cobalah juga Anda berkorespondensi dengan penerbit-penerbit Inggris berikut ini, mudah-mudahan ada yang cocok. Data ini juga saya comot secara acak dari ratusan alamat penerbit dari judul buku yang sama.

ABC-Clio Ltd
Old Clarendon Iron Works, 35a Great
Clarendon Street, Oxford OX2 6AT
Tel. 01865 311350 Fax. 01865 311358
Managing Director: Tony Sloggett dan Editorial Director: Dr. Robert G.
Neville.
Terutama menerbitkan buku-buku akademik dan referensi umum mengenai
masalah social sains dan kemanusiaan. Royalti dibayarkan setahun dua
kali.

The Athlone Press
1 Park Drive, London NW 11 7SG
Tel. 0181 458 0888 Fax. 0181 201 8115
Managing Director: Doris Southam dan Editorial Head: Brian Southam.
Terutama menerbitkan buku-buku tentang: arkeologi, arsitektur, seni, ekonomi, studi film, sejarah, kesehatan, music, filsafat, politik, keagamaan, ilmu pengetahuan/teknologi, sosiologi, zoology, isu tentang gerakan wanita atau kaum feminis. Sekitar 35 judul buku setiap tahunnya. Royalti dibayarkan setiap tahun sekali.

Reader’s Digest Association Ltd
Berkeley Square House, Berkeley Square,
London W1X 6AB
Tel. 0171 629 8144 Fax. 0171 236 5956
Managing Director: Neil McRae dan Editorial Head: Robin Hosie.
Terutama menerbitkan buku tentang pertamanan, sejarah alam semesta,
seni masa-memasak, sejarah umum, perjalanan dan sebagainya.

Supaya Anda makin plong dan tidak berprasangka aneh-aneh, berikut dikutipkan kliping “iklan” undangan dalam bahasa Inggris yang termuat di sebuah majalah asing (WittyWorld) beberapa tahun lalu, mudah-mudahan penerbit bersangkutan masih eksis sehingga komunikasi yang Anda tempuh dapat sampai sesuai yang diharapkan.

Books
New Authors
Publish your work
All subjects considered
Fiction, Non-fiction, Biography
Religious, Poetry, Children's

Authors Worldwide Invited

Write or send your manuscript to

MINERVA PRESS
2 Old Brompton Road
London, SW7 3 DQ, England

Authors

Invited to submit manuscripts to established book publisher

All subjects incl. poetry at competitive rates

* Professional and friendly advice

* Family run business since 1898

* FullBook Publishing Service

* Self Publication & Private Limited Editions

A.H.. Stockwell Ltd., Dept. 1014, Illfracombe
Devon. Ex34 8 BA Tel/Fax: +44 (0) 127 862557

UK BOOK
PUBLISHER

Invites Authors to send manuscripts for Bookplan publication,
a practical, low cost, on demand system. We are experienced in
all categories, including academic and specialized publications
to the highest standards.

MERLIN BOOKS (TM)
Braunton, Devon EX33 2EA England
Tel:+44 (01271) 816430 Fax:+44 (01271) 812117

Dianjurkan, pada saat mengirim naskah, sebaiknya dalam bentuk proposal, berisi: sinopsis atau gagasan dasar, biodata penulis dan rencana jumlah halaman, gambar/foto dan sebagainya, sebelum mengirim naskah jadi.
Berhubung nama dan alamat penerbit buku, koran atau majalah di Indonesia mudah Anda dapatkan sendiri, saya yakin Anda tidak berkeberatan mencarinya. Banyak sumber yang bisa dimintai keterangan. Salah satu hal yang perlu kita catat bersama adalah bahwa profesi menulis itu tidak sempit lahannya; sangat banyak, termasuk peluang medan tempurnya. Meskipun demikian, jangan lupa, sukses tidaknya Anda jangan lalu dikait-kaitkan dengan diri saya; yang jelas, semua itu tergantung pada angin.

Darminto M. Sudarmo, pencinta buku dan penulis.

Tuesday, December 30, 2008

Global Worrying by Jitet Koestana


Friday, December 5, 2008

Muchid Rahmat, Berkarya Sambil Menggelitik Rasa

Berbicara tentang karya-karya kartun Muchid Rahmat, lajang kelahiran Kaliwungu, Kendal (Jawa Tengah) 27 Juli 1968 ini, rasanya saya kekurangan kata, kehabisan ungkapan. Betapa tidak? Lihat saja karya-karya yang tertayang di samping artikel ini; terlihat sekali keluasan wawasan dan kemahiran teknis Muchid sangat membanggakan dan kaya panorama.
Selain penghargaan di tingkat internasional dan nasional yang pernah dia peroleh, ada hal menarik yang tak perlu mempersoalkan itu semua; yaitu kematangan dalam berkarya. Tawaran-tawaran gagasannya senantiasa menimbulkan renungan-renungan dan gelitik inspirasi. Salah satu contoh, kartun berjudul “Hidup Harmonis” adalah gambaran sebuah paradoks manusia modern yang bingung dalam konsep dan tak jelas dalam berorientasi. Sentilan itu mengarah pada sejumput elit kita yang telah beku nalar dan hati nuraninya.
Pada karya “Infus Moral” kita mendapatkan sebuah ironi yang hingga kini tak kunjung selesai. Kursi itu adalah gambaran kekuasan dan manusia yang bakal duduk di atasnya. Mengapa bukan langsung orang yang duduk di kursi yang perlu dirawat dan diberi infus moral? Karena kursi sebagai simbol lembaga pun telah menyalahi fungsi dan menjadi preseden dari sebuah penyimpangan yang mentradisi.
Pada kartun yang menggambarkan seorang petugas yang tampak sedang mencari penjahat dan menggunakan anjing pelacak sebagai partner penyidikan, ternyata si anjing beraksi tanpa peduli skenario tuannya; ia justru menemukan tanda-tanda pada jejak kaki petugas itu sendiri. Ini pesoalan rumit yang menjadi perbincangan ramai di negeri kita saat sibuk melakukan gerakan pemberantasan korupsi. Bagaimana masyarakat tidak gemas dan geram jika melihat fungsi polisi yang seharusnya melindungi masyarakat malah melakukan hal yang sebaliknya. Begitu juga sebagian jaksa, hakim dan para penegak hukum lainnya.
Bila tatanan dan sistem telah diacak-acak, terutama oleh para elit yang seharusnya memberikan teladan pada masyarakat; bila hukum telah dilanggar atas nama kekuasaan; bila masyarakat kehilangan kepercayaan pada para pemimpin bangsa, maka bangsa ini sudah harus siap-siap menyelematkan diri masing-masing karena negara telah “tidak berfungsi “ sebagaimana yang diamanatkan: dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Pengangguran meluas, korban lumpur Lapindo tak kunjung beres, ekspor produk dalam negeri macet karena negeri pengimpor lagi meriang dilanda krisis finance dan mungkin juga ekonomi; dollar Amerika Serikat yang makin mengunyah-kunyah rupiah; sepertinya bangsa ini perlu waspada. Waspada pula bila para kartunis semakin tak tahan untuk tidak membuat karikatur dan beropini tentang kondisi negara dan bangsa; maka siap-siaplah kita semua akan melihat keadaan yang silang sengkarut ini dalam goresan kartunis kritis dan komedis mereka. Siap-siaplah untuk cemberut atau tersenyum dengan nyali ciut dan hati kecut.
Tetapi, tidak semua manusia Indonesia bertingkah laku dan bertindak mencemaskan. Ada satu dua pemimpin bangsa yang waskita terhadap situasai yang ada. Ibarat sekolam air, sebagai bangsa yang sangat berpengalaman dalam penderitaan dan berbagai cobaan, kita pasti dapat membedakan kolam yang keruh dan berbau dengan kolam yang jernih dan mencerahkan. Itulah makna dan fungsi paling hakiki sebagai rakyat; suka tidak suka, kita harus mau memilih. Harus menimbang-nimbang pilihan, meskipun kadang yang ada adalah yang tidak jelek di antara yang jelek. So...apa boleh buat! Pilkada, pemilu seringkali hilir mudik di sekitar kerja kita sebagai insan kreatif; tak terkecuali bagi para kartunis; tak terkecuali bagi Muchid Rahmat. Ujung dari semua keriuhan dan dinamika itu tak lain tak bukan adalah...ekonomi alias kemulyaan alias penghasilan. Lumayan kalau untuk kemanfaatan umat manusia lainnya; kalau untuk diri sendiri dan partai saja, di mana komitmennya kepada rakyat dan umat manusia Indonesia?
Masih mending memeta kerja kartunis; dalam penghasilannya terdapat formula kerja kerasnya dalam mencari ide, dalam memvisualkan gagasan dan dalam menawarkan kreativitas; yang bila direnung-runangkan semua itu berdaya gugah demi cerdasnya pola pikir masyarakat dan pencerahan bagi situasi yang penuh polusi dan pengingkaran terhadap amanat penderitaan rakyat.
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Kelakar Orang Pintar


Kumpulan Kolom, “Mas Celathu” yang “Celuthak”


Judul : Presiden Guyonan
Penulis : Butet Kartaredjasa
Penerbit : Kitab Sarimin, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, November 2008
Tebal : xxiv +286 halaman

Ya, buku yang dikemas elok dengan tata visual “nyeni” dan berjudul Presiden Guyonan karya Butet Kartaredjasa ini ternyata merupakan kumpulan kolom yang pernah dimuat di “Suara Merdeka” tiap hari Minggu di halaman depan tepi kiri. Rubriknya “Celathu Butet”. Belum sampai membaca jauh, kita sudah digelitik sebuah informasi. Khususnya di halaman cover dalam. Di tempat ini di bawah judul buku dan penulis, tertulis informasi: Kolom Celathu Suara Merdeka September 2007-September 2009. Lho, ini guyonan apa sungguhan? Kalau guyonan, ya maklum; kalau sungguhan, kan masih perlu setidaknya satu tahun lagi untuk menuju September 2009?
Tapi tidak apa, namanya juga Presiden Guyonan, tahunnya guyonan juga boleh saja. Taruhlah yang dimaksud itu adalah September 2008, paling tidak dalam satu tahun sudah terkumpul sedikitnya 48 kolom; itu kalau satu bulan berisi empat minggu; kalau satu bulan 5 minggu kan ada kelebihannya. Jadi masuk akal kalau di buku ini termuat 54 kolom. Diawali kolom yang berjudul “Mas Celathu” dan diakhiri “Pasal Lalai”.
Bicara soal isi tulisannya, siapa tak kenal Butet? Gampangnya ngomong dia itu manusia multimedia. Mahir melucu lewat akting (teater atau program TV), tangkas melucu lewat ngomong (menirukan suara Presiden Soeharto atau BJ Habibie); sigap melucu lewat baca cerpen dan cerdas melucu lewat tulisan. Bukan hanya itu, tulisan Butet semangkin enak dinikmati kalau kita punya perbendaharaan kata bahasa Jawa yang memadai. Tulisannya mengalir deras, empuk dikunyah, walaupun sesekali sering ngajak jithungan, karena tiba-tiba banyak kata bahasa Jawa yang masuk secara selonong boy namun tepat rasa, tetap logika, walaupun hal ini bisa membuat sewot untuk yang tak paham bahasa Jawa. Tapi itu soal kecil, di halaman belakang telah disediakan “Kamus Mini” bagi pembaca yang kesulitan mencerna terminologi yang ada di dalam seluruh tulisannya.
Bagaimana asal usulnya sehingga Harian Suara Merdeka memiliki kolom unik ini? Seperti dituturkan Butet di awal pengantarnya, “Celathu itu apaan sih? Yang bukan orang Jawa memang kurang familiar dengan kata ini. Kurang lebihnya celathu artinya berujar atau nyeletuk. Jadi kalau di dalam buku ini Anda bertemu dengan tokoh rekaan yang namanya Mas Celathu, sebuah nama yang diusulkan oleh wartawan dan penulis prosa Triyanto Triwikromo, bisa diduga, pastilah karakter Mas Celathu tak terlalu jauh dari makna kata itu sendiri.
Titik Bidik
Bila mencermati seluruh kolom yang ada, satu sisi ia berisi celetukan, celotehan, grenengan, rerasan, tuduhan bahkan kadang “umpatan” halus tapi telak atau celetak-celetuk yang celuthak seperti kata Ayu Utami; sisi lain kita juga mendapatkan bagaimana penulis membangun sebuah kontruksi “drama” atau “fragmen” yang mengantarkan opini Mas Celathu ke titik bidik. Bidikan yang terkait dengan masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, hankamnas dan perilaku sejumlah penguasa yang konteks dengan waktunya.
Tarik saja garis waktu sejak September 2007 hingga September 2008. Ada peristiwa penting apa saja yang layak dikolomkan oleh penulis. Jadi kalau kolom yang berjudul Presiden Guyonan sedikit menyinggung dengan enteng dan menggemaskan tentang blue energy dan padi super toy HL2; pasti kita semua lalu diingatkan sebuah peristiwa yang komedis tapi tragis yang pernah terjadi di negeri ini dan itu melibatkan seorang presiden. Tak mengherankan kalau Butet dalam kolom ini perlu menampilkan potongan alinea yang berbunyi sebagai berikut: Ketimbang jadi Presiden beneran tapi keputusan dan kebijaksanaannya malah kayak guyonan, perilakunya kayak main guyonan, mendingan Mas Celathu secara resmi mengangkat dirinya sendiri menjadi Presiden Guyonan. Biar menghibur, syukur-syukur bisa kasih pencerahan.
Seperti halnya seorang karikaturis di surat kabar yang sigap menangkap tema aktual/hangat, penulis kolom kontekstual selalu bertolak dari dorongan tema-tema demikian. Minggu ini mengangkat Ryan pembunuh asal Jombang berpenampilan lembut; minggu lainnya mengangkat masyarakat miskin kita yang meninggal karena antre uang 20 ribuan. Minggu lain lagi bicara lain lagi. Pendek kata, seorang kolomnis tak akan pernah kekeringan ide atau tema selama koran, majalah masih terbit; radio dan televisi masih siaran. Ruang itu dimanfaatkan Butet dengan sangat enak dan nyaman. Ia membanyol lewat gayanya yang khas. Penulis-penulis berbahasa Indonesia baku sangat takut menggunakan kata “Lha wong”, tetapi Butet dengan sangat pas mengoper habis berbagai idiom dan istilah Jawa dengan leluasa dan tanpa beban. Seakan dia berkata dalam hati, “Paham syukur, nggak paham ya salah sendiri”. Tentu bukan begitu; waktu Butet menulis kolom Celathu Butet, tentu yang terbayang adalah harian Suara Merdeka, siapa pembacanya, dengan begitu maka ia merasa nyaman kalau banyak menggunakan istilah yang pasti akan mudah diserap oleh pembaca tulisan-tulisannya.
Selain isi, gambar-gambar atau ilustrasi kaya Dwi Koendoro, kartunis bangkotan yang sangat mahir memparodikan tokoh (lewat komik stripnya: Panji Koming di Kompas Minggu), yang mengisi di buku Presiden Guyonan juga dengan gemblungnya bermanuver; ia tak mau kalah “sudrun” dari tulisan-tulisan Butet; wajah Mas Celathu (Butet?) dijereng ke sana kemari dengan sangat estetik. Gambar-gambar itu juga makin menambah nilai dan kegilaan buku ini.
Belum puas sampai di situ. Butet rupanya masih perlu memanjakan pembaca dengan mengundang relasi-relasi dekatnya, sahabat-sahabat kentalnya yang di wacana intelektual masuk kategori orang-orang “pinunjul” , untuk ikut merayakan penerbitannya kali ini. Sebutlah nama-nama seperti Mohamad Sobary (kata pengantar), Goenawan Mohamad (analisa isi), Ashadi Siregar, Jenifer Lindsay, A Mustofa Bisri, Ayu Utami, Andy F. Noya, Arswendo Atmowiloto dan Todung Mulya Lubis. Nah, mereka sepakat bahwa karya tulis Butet kali ini memang layak disimak dan dikunyah secara renyah. Kurang apa lagi?

Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.

Contact

Related Blogs

Blog Archive

Categories

Labels

Advertise